Imam
Harus Orang Quraiys ?
Dari Jabir bin Samurah dia berkata, Nabi bersabda:
Tidak henti-hentinya perkara (keamiran) ini senantiasa Berjaya hingga 12
Khalifah, Jabir berkata kemudian Nabi bersabda yang aku tidak dapat memahaminya
maka aku bertanya pada ayahku, apakah yang disabdakan Nabi ? ayahku berkata:
kesemuanya mereka orang Quraisy. HR. Muslim: 3396.
Diantara bantahan golongan “kaum salafi” tentang
keamiran adalah: Imam harus orang Quraisy, kalau bukan orang Quraisy tidak sah,
berdasarkan dalil;
Jawab; Kalau benar-benar kita cermati dalil di atas
maka akan dapat kita jumpai bahwa maksud sabda Nabi tersebut hanyalah untuk
menyanjung keutamaan orang Quraisy semata’ bukan dalam konteks bahwa imam harus
orang Quraisy, sebab jaka difahami seperti itu (bahwa Amir harus orang Quraisy)
maka kedudukan Hadist tersebut jelas bertentangan dengan dalil yang di atasnya
(lebih kuat) yaitu;
Dalil pertama, firman Allah
يٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنٰكُم مِّن ذَكَرٍ
وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّـهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّـهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
﴿الحجرات:١٣﴾
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kami di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal" Qs. Al-Hujurat : 13
Keterangan; Ayat di atas mengandung pesan bahwa
kedudukan manusia di mata Allah sama tidak ada yang lebih unggul karena
kesukuannya (Allah tidak diskriminasi terhadap makhluq ciptaannya walaupun
Allah mempunyai hak untuk melakukannya) yang membuat menusia berbeda di sisi
Allah hanyalah tingkat ketakwaannya.
Dalil kedua, firman Allah;
وَمَآ أَرْسَلْنٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿سبإ:٢٨﴾
Artinya : "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan
kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui".Qs. Saba’
: 28
Keterangan: Ayat di atas mengandung pesan bahwa Islam
yang dibawa oleh Muhammad bukan hanya untuk orang Quraisy tapi untuk seluruh
umat manusia
Dalil ketiga, sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
;
Tetapilah oleh kalian ketaatan walaupun (yang jadi
imam) hamba Habsyi, sesungguhnya orang iman seperti unta yang diberi kendali
hidungnya kemana saja dia dituntun akan mengikuti. HR. Ibnu Majah : 43 (tahqiq
Al-Albani : Shahih)
Keterangan; Dari hadist diatas Rasulullah telah
mengisyaratkan bahwa siapa saja dari suku apapun dia berpeluang untuk diangkat
menjadi imam tidak harus orang Quraisy, dan ketika dia jadi imam harus di
taati.
Dalil ke empat Hadist Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam
Rasulullah berkhutbah di Mina pada pertengahan hari
tasyriq saat itu beliau di atas untanya, beliau bersabda : "Wahai manusia
ingatlah sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, bapak kalian itu satu, ingatlah
tidak ada keutamaan orang Arab mengalahkan A’jam, dan tidak ada keutamaan orang
A’jam mengalahkan orang Arab, dan tidak ada keutamaan orang kulit Hitam
mengalahkan orang kulit merah, tidak ada keutamaan orang kulit merah
mengalahkan orang kulit hitam, melainkan dengan sebab ketaqwa’an, Sudahkah aku
menyampaikan ? mereka menjawab; Iya, beliau bersabda lagi; ingatlah hendaklah
orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir". At-Thabari (QS.
Al-Hujurat : 13)
Keterangan; Pada Hadist ini Nabi menegaskan semua
manusia sama yang membedakan kemuliaannya hanyalah ketaqwaan semata.
Dalil keemapat Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam;
"Orang-orang Bani Israil dahulu diurusi oleh para
Nabi, ketika seorang Nabi wafat maka di gantikan oleh Nabi yang lain,
sesungguhnya tidak ada Nabi lagi sesudahku dan yang ada adalah para Khalifah
(imam yang dibai'at) dan jumlah mereka akan banyak, meraka bertanya apakah yang
anda perintahkan kepada kami ? Nabi bersabda tetapilah oleh kalian bai'at
kepada imam yang pertama kali dibai'at, berikan pada mereka hak mereka,
sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada mereka dari apa yang Allah telah
menjadikan mereka sebagai penggembala." HR Al-Bukhari : 3196
Keterangan hadits diatas menyebutkan bahwa setelah Nabi
wafat yang memimpin umat ini adalah para khalifah / imam yang dibaiat dan
jumlahnya banyak ketika sahabat bertanya apa yang harus kami lakukan, Nabi
menjawab tetapilah baiat kepada imam yang pertama kali dibaiat, dengan kata
lain bergabunglah dengan jamaah yang paling awal, Nabi tidak menjawab tetapilah
pada baiatnya Imam Quraisy.
dalil kelima, peristiwa di Saqifah bani Sa’id setelah
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang
mewakili golongan Anshar berkata :
“Saya adalah orang yang senangtiasa dimintai pendapat
(bijaksana) dari golongan kami (Anshar) mengangkat amir sendiri dan kalian
(Muhajir) mengangkat amir sendiri wahai golongan Quraisy”. HR Al-Bukhari : 6328
Dari hadits di atas jelas sekali kaum Anshar berencana
akan membaiat amir dari golongan mereka sendiri padahal orang Anshar bukanlah
orang Quraisy, akan tetapi mustahil jika orang-orang Anshar yang sangat taat
dan loyal kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berani
“mengingkari wasiat” beliau bahwa imam “harus” orang Quraisy, jika memang
adanya begitu, ataukah orang-orang “salafi” ini menganggap orang-orang Anshar
jahil masalah agama dan tidak termasuk golongan Salafus Shalih, dan guru mereka
(salafi) lebih arif berbanding sahabat Nabi dari golongan Anshar ?
Dalil-dalil di atas telah menjadi indikasi yang jelas,
menunjukkan bahwa; dalil “Amir Quraisy” adalah Muawiyah dan musuh bebuyutannya
yaitu kaum Syiah yang juga menjadikan hadits tersebut sebagai propaganda bahwa
imam atau amir yang sah adalah berjumlah dua belas kesemuanya Ahlul Bait
(keluarga Nabi) dari golongan mereka dan yang pasti orang Quraisy.
Kesimpulan; Setelah meneliti kembali keberadaan ‘Amir
Quraisy” dan dibandingkan dalil-dalil yang lain maka dapat diambil kesimpulan
bahwa;
Hadits “keamiran Orang Quraisy” hanya berupa sanjungan
Nabi akan banyaknya orang-orang Quraisy yang berbakat menjadi pemimpin, tapi
bukan berarti pemimpin / imam wajib orang Quraisy, sama halnya di Indonesia
saat ini yang jadi Presiden Indonesia dari dulu hingga saat ini adalah dari
suku Jawa karena kebetulan banyak orang-orang yang berbakat menjadi pemimpin
berasal dari suku Jawa tapi bukan berarti Presiden Indonesia harus orang Jawa.
Dalil ntersebut telah disalah artikan kemudian
dipolitisirkan dan dijadikan alat propaganda bagi sebagian orang yang
berkepentingan pada kekuasaan, bahkan oleh dua kelompok yang sangat bermusuhan
yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan dan golongan Syiah.
Muawiyah menjadikan hadits tersebut sebagai propaganda
untuk melindungi kekuasaannya dan para kroninya yang sangat korup dan hidup
berfoya-foya dalam kemewahan dunia ketika secara halus disindir oleh sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal sangat zuhudnya yaitu Abdullah
bin Amr (Abdullah bin Amr ini sahabat Nabi yang sangat zuhud dan banyak
keutamaannya, dialah sahabat yang kesungguhannya dalam ibadah puasa dan qiamul
lailnya sangat luar biasa sehingga distop oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau perintah agar Abdullah mengurangi ibadahnya, dan dialah salah satu
sababul wurud dari hadits tentang puasa sunnah Nabi Dawud, akan tetapi dalam
banyak hal Abdullah bin Amr berbeda pendapat dengan ayahnya sendiri yaitu Amr
bin Ash yang sejak Jahiliyah bahu membahu dengan ayah Muawiyah yaitu Abu Sufyan
di dalam memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabt,
setelah dia masuk Islam tepatnya ketika Muawiyah memberontak atas kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash menjadi pengikut sekaligus pembela yang sangat
setia bagi Muawiyah) dia berkata yang maksudnya adalah; Kalau orang-orang
Quraisy yaitu; Muawiyah dan kroni-kroninya yang jadi penguasa tidak
menghentikan kemaksiatan dan kesewenang-wenangannya maka Allah akan memindahkan
keamiran pada bangsa Qahthan. Muawiyah menganggap sindiran Abdullah bin Amr
kalau dibiarkan bisa menjadi ancaman bagi kekuasaannya.
Kesimpulam; Islam ini bukan agama khusus untuk orang
Quraisy melainkan untuk semua umat manusia, terdapat dalil-dalil shahih yang
membuktikannya, jadi isu Quraisy atau bukan Quraisy itu bukan perkara besar dan
tidak menyangkut sah atau tidaknya keamiran, yang pasti adalah bahwa beragama
Islam wajib dengan berjamaah dan berjamaah wajib dengan mempunyai imam / amir.
Pengetahuan
Imam
A. Musyawarah Untuk Memilih Imam
Sebagian dari kelompok Salafi juga menghujat golongan
dari umat islam yang telah membentuk jamaah dengan mengangkat imam yang
dibai’at kemudian bersungguh-sungguh mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadist,
mereka katakan bahwa; Jamaah tersebut tidak sah, sebab sewaktu akan mengangkat
imam tidak mengajak bermusyawarah terlebih dahulu dengan peimin-pemimpin
organisasi atau badan islam setempat, mereka menggunakan dalil ucapan Umar bin
Khattab
Maka barang siapa yang membaiat seseorang atas selain
musyawarah dari golongan umat Islam maka jangan diikuti orang itu, dan jangan
dibai'at orang yang dibai'atnya, khawatir keduanya akan dibunuh. HR. Al-Bukhari
: 6328
Benarkah apa yang mereka tuduhkan itu ? Dan apakah
mengangkat imam harus dengan bermusyawarah, dengan kata lain apakah imam yang
diangkat dengan tanpa musyawarah maka hukumnya tidak sah?
Jawabannya; Dari pernyataan mereka ini di atas yang
menggunakan hujjah ucapan Khalifah Umar, semakin tampak jelas inkonsisten
mereka dalam berhujjah di dalam menolak hakikat bahwa menetapi agama Islam
harus berjamaah, sebab sebelumnya mereka telah melecehkan Hadist mauquf dari
Umar bin Khattab
Dari Tamim Ad-Dari dia berkat; Di zaman Khalifah Umar
manusia berlomba meninggikan bangunan, maka Umar berkata; Wahai bangsa Arab
ingatlah (dari) tanah (kembali) ke tanah, sesungguhnya tiada Islam kecuali
dengan berjamaah, tiada jamaah kecuali dengan beramir, tiada beramir kecuali
dengan taat, maka barang siapa yang dijadikan pemimpian oleh kaumnya atas dasar
kefaqihan maka hiduplah bagi orang itu dan bagi mereka (jamaahnya barokah) dan
barang siapa yang dijadikan pemimpian oleh kaumnya bukan atas dasar kefaqihan
maka rusaklah bagi dia dan bagi mereka (jamaahnya tidak barokah). HR. Ad-Darimi
: 257
Mereka berkata; Itukah “hanya” ucapannya Umar, jadi
tidak bisa di jadikan pegangan/dalil bahwa Islam harus berjamaah, subhanallah.
B. Keutama’an Khalifah Umar
Dengan mereka mengatakan “itukan hanya ucapan Umar”
berarti sadar atau tidak sadar mereka telah merendahkan maqam salah seorang
sahabat Nabi yang terunggul sekaligus Khulafa’ur Rasyidin dimana Nabi telah
memerintahkan agar kita semua berpegang teguh kepada sunnah mereka setelah
Al-Qur’an dan As-Sunnah, perhatikan sabda Rasullulah shallallahu 'alaihi wa
sallam
Dan kalian akan melihat setelahku nanti perselisihan
yang sangat (banyak), oleh karenanya tetapilah oleh kalian akan sunnahku dan
sunnahnya Al-Khulaf’ur Rasyidin Al-Mahdiyyin gigitlah sunnah itu dengan gigi
geraham. HR. Ibnu Majah : 42 (Al-Albani : Shahih)
Dan mereka juga meremehkan Hadist Nabi
Dari Uqbah bin Amir dia berkata, Rasulullah bersabda;
"Seandainya sesudahku ada Nabi maka dia adalah Umar bin Al-khatthab".
HR. At-Tirmizi : 3619 (Abu Isa Berkata : Hadist Hasan gharib)
Juga Hadist Nabi :
Dari Abi Dzar dia berkata, aku mendengar rasulullah
bersabda; "Sesungguhnya Allah telah meletakan kebenaran atas lisan Umar,
dia berkata denagn (ketenaranya) itu". HR Abu Dawud : 2952, Ibnu Majah :
105 (Syaikh Albani : Hadist Shahih)
Ironisnya terhadap ucapan/fatwa ulama’ yang notabene
adalah manusia biasa (yang maqamnya jauh di bawah para sahabat Nabi apalagi
Khulafa’ur Rasyidin) contohnya ulama’ atau masyayikh yang menjadi guru idola
mereka sekarang ini seperti syaikh Bin Baz rahimahullah, Syaikh Ibnu Utsaimin,
Syaikh Muqabil, syaikh Rabi’ Ibnu Hadi dan yang lainnya mereka begitu
ta’ashubnya bahkan bertaqlid sepenuhnya akan tetapi tehadap ucapan Khalifah
umar mereka melecehkan, inikah yang dikatakan sebagai golonagan bermanhaj salaf
???
C. Sababul Wurud Pernyataan Umar bin Khattab Tersebut
Anehnya lagi untuk menyerang golongan umat Islam yang
bersungguh-sungguh mengikuti dam mempraktekkan apa yang diamalkan oleh Nabi dan
tiga generasi yang terunggul umat ini (sahabat, Tabiin dan Tabiit-Tabiin) yaitu
berjamaah dengan mengangkat Imam yang di baiat, mereka menjadikan ucapan Umar
sebagai hujjah dengan keterangan yang disesuaikan dengan ra’yu dan hawa nafsu,
mereka mengatakan; mengangkat imam yang dibaiat dengan tanpa musyawarah tidak
sah berdasarkan ucapan Khalifah Umar).
Barangkali mereka tidak faham atau pura-pura tidak
faham, bahwa: Di saat itu ucapan Umar adalah semata-mata untuk meredam agar
jangan sampai ada orang atau kelompok (terutama dari golongan Anshar) yang
memboikot pengangkatan Abu Bakr sebagai Khalifah, mengingat bahwa proses
pengangkatan Abu Bakr sebagai Khalifah tidaklah berjalan mulus, dimana
sebelumnya para sahabat dari golongan Anshar telah sepakat untuk membai’at
tokoh mereka yaitu Sa’d bin Ubadah, bahkan mereka sempat mengusulkan agar
golongan Anshar mengankat Khalifah sendiri golongan Muhajir juga mengangkat
Khalifah sendiri, dan suasana saat itu sangat genting sehingga dikhawatirkan
akan terjadi perpecahan diantara kaum Muslimin (golongan Muhajir dan Anshar)
yang sedang berkabung atas wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
hal ini dapat kita ketahui dari rangkaian kisah sebelum ucapan Umar tersebut :
Maka berkatalah seseorang dari golongan Anshar : “Saya
adalah orang yang senantiasa dimintai pendapat (bijaksana)”, dari golongan kami
(Anshar) mengangkat amir sendiri dan kalian (Muhajir) mengangkat amir sendiri
wahai golongan Quraisy, maka banyaklah keributan dan tinggilah suara sehingga
aku Khawatir timbul perselisihan, maka aku (Umar) berkata bentangkanlah
tanganmu wahai Abu Bakr, maka dia bentangkan tangannya maka aku berbaiat
kepadanya dan orang-orang Muhajirpun membaiatnya demikian pula orang-orang
Anshar juga membaiatnya. HR. Al-Bukhari : 6328
Jadi apa yang dikatakan Khalifah Umar : Barang siapa
yang membaiat seseorang dengan tanpa musyawarah dst sama sekali tidak dalam
konteks, bahwa: Keamiran harus di angkat melalui musyawarah dan Amir yang
dibait dengan cara tidak musyawarah (system penunjukan, atau system keturunan
seperti raja) tidak sah, ini suatu ra’yu yang tidak berdasarkan dalil dan
menyelisih apa yang telah dilakukan oleh salafus shalih, jika kita lihat
sejarah pengangkatan Amir maka akan kita jumpai dengan beberapa cara;
1. Musyawarah, contohnya peristiwa pengangkatan
Khalifah Abu Bakr, hal ini disebabkan Rasulullah sebelum wafatnya tidak jelas
berwasiat menunjukan siapakah yang akan menjadi Khalifah setelah beliau wafat.
2. Penunjukkan/wasiat oleh imam sebelumnya (tanpa
Musyawarah), contohnya adalah pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab atas
penunjukan/wasiat dari Khalifah Abu Bakr, bahwa jika beliau wafat maka yang
menjadi Khalifah adalah Umar
3. Keturunan, hal ini yang dipraktekkan oleh keamiran
dari sejak zaman Bani Umayyah, Bani Abasiah dan seterusnya.
Khalifah Umar sendiri sebelum wafatnya setelah dia ditikam
/ditusuk (oleh Abu Lukluk seorang lelaki Persia pada 25 Dzulhijjah 23 H),
berkata;
Jika aku menunjuk pengganti maka orang yang lebih baik
dari aku telahpun melakukannya yaitu Abu Bakr, jika aku membiarkan (tidak
menunjuk) maka itu juga telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku
yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. HR, Al-Bukhari : 6678
Menjadi
Warga Negara Yang Baik
Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang sesungguhnya dalam
kedudukan mereka sebagai rakyat / warga negara akan tunduk dan patuh kepada
pemerintah yang sah di mana saja mereka berda, dengan kata lain mereka akan
menjadi warga Negara yang baik. Sebab mereka memisahkan antara urusan agama
dengan urusan dunia.
Mereka meyakini bahwa diutusnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam semata-mata untuk membimbing dan member petunjuk dalam urusan
agama, hal ini dapat dijumpai dalam firman Allah :
“Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan” Qs. Al-Isra’ : 105
Ayat di atas menunjukkan bahwa diutusnya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata untuk urusan agama dan tidak ada
kaitannya dengan urusan dunia, hali ini ditegaskan dengan sabda beliau :
“Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian” HR.
Muslim : 6277
Ini menunjukkan bahwa untuk urusan dunia termasuk
pemerintahan serahkan pada ahlinya yaitu pemerintah dan orang-orang yang ahli
dibidangnya seperti para ekonom dan lainnya, untuk urusan agama kembalikan juga
pada ahlinya yaitu imam dan para ulama. Jangan campur adukkan antara urusan
agama dengan urusan dunia yang ada adalah kerusakan, sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
“Ketika perkara diserahkan pada yang bukan ahlinya maka
tunggulahsaat (kerusakannya)” HR. Al-Bukhari : 59
Fenomena yang terjadi bias dipungkiri bahwa kebanyakan
umat Islam saat ini merasa lebih sejahterah tinggal di Negara sekuler dari pada
tinggal di Negara Islam, hal ini disebabkan dua hal;
Sejarah telah membuktikan bahwa sebab utama kejatuhan
umat Islam atau lebih tepat jika disebut Negara-negara Islam adalah karena
memaksakan mencampur urusan dunia dengan urusan agama yaitu amir atau raja yang
tidak cekap dan tidak bertanggung-jawab dalam urusan pemerintahan akan tetapi
mereka punya otoritas penuh untuk memerintah sehingga mereka menjadi penguasa /
pemerintah yang kejam dan korup.
Di sisi lain Agama Islam sendiri sebagaimana telah
disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akhibat ulah kotor para pembuat
bid’ah telah berpecah belah menjadi bermacam-macam madzhab dan masing-masing
madzhab merasa paling benar, sehingga bagi umat Islam yang madzabnya berbeda
dengan penguasa maka dia akan ditindas dan bahkan tidak diberi kebebasan
menjalankan syariat Islam sesuai dengan manhaj atau madzhabyang diyakininya,
jal inilah yang dialami para ulama Ahlus Sunnah seperti Imam Ahmad yang harus
mendekam dipenjara hanya karena berbeda keyakinan dengan penguasa mengenaik
Al-Qur’an makhluk atau bukan makhluk, demikian pula dengan Imam Bukhari yang
diusir dari tanah kelahirannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang hidupnya
keluar-masuk penjara hingga wafat di penjera, dan masih banyak yang
lain-lainnya. Ironisnya hal seperti ini jarang terjadi di Negara sekuler,
umumnya umat Islam terkadang malah mendapat kebebasan yang lebih dalam
menjalankan ibadahnya menuntut keyakinannya tanpa khwatir diintimidasi oleh
penguasa.
Urusan pemerintah Negara yang bersangkut-paut dengan
kestabilitas keamanan perekonomian dan lain-lainnya adalah urusan dunia yang
juga harus diselenggarakan oleh orang yang menguasai di bidangnya, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam As-Syafi’I rahimahullah
“Barangsiapa yang menghendaki dunia maka wajib atasnya
ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki akhirat maka wajib atasnya ilmu”
Al-Majmu’ 1 : 20
Dan telah terbukti di Negara mana pun umat Islam yang berjamaah
berada ternyata dia menjadi warga Negara yang taat dan patuh kepada pemerintah
yang sah; di Indonesia, di Singapura, di Amerika, di Australia dan di seluruh
belahan dunia, sebab kita yakin umat Islam yang baik adalah warga Negara yang
baik.
Semoga Allah memberikan dan menetapkan kita dalam
hidayah-Nya sehingga dapat terus menetapi Dienul Islam yang berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadits serta berbentuk Jamaah.
Pemutar Balikan Fakta : Yang
Berjamaah Dikatakan Firqah Yang Firqah Dikatakan Berjamaah
Para salafiyyun juga mengadakan propaganda yang busuk
tapi menggelikan, yaitu: mereka menuduh umat Islam yan membentuk jamaah dan
mempunyai imam yang dibai’at adalah golongan firqah ashabiah (golongan firqah
yang didasari fanatisme kelompok), sebaliknya mereka mengatakan bahwa yang
dikatakan jamaah adalah seperti mereka mengatakan bahwa yang dikatakan jamaah
dan tidak mempunyai imam, bahkan mereka mengatakan bahwa cara mereka inilah
yang dikatakan jamaatul Muslimin sesungguhnya, pendapat ini dibantah oleh para
ulama ahlus Sunnah, Syaikh Ali Syaikh berkata;
Sebagian dari mereka berkata; “Sesungguhnya yang
dimaksud dengan Jamaah adalah umumnya umat Islam (secara keseluruhan) akan
tetapi pendapat ini batal sebab merusak (bertentangan) dengan hadits masalah
berfirqah (berpecah-belah) menjadi 73 firqah” Syarah makna “Ahlus Sunnah
Wal-Jamaah” Syaikh Shahih Ali As-Syaikh
Konsep jamaah dalam Islam adalah sama dengan berjamaah
dalam shalat, yaitu ada imam dan ada makmum, analoginya adalah; jika di sebuah
masjid ada 100 orang atau lebih mengerjakan shalat yang sama dan kompak di
dalam shalat tersebut; dari mulai takbiratul ihram sehingga salam gerakan
mereka seirama karena tidak ada yang menjadi imam maka shalat mereka bukanlah
shalat berjamaah dan mereka tidak berhak mendapat pahalanya shalat jamaah yaitu
27 derajat (ganda),
Dari Abi Said Al-Khudri, sesungguhnya dia mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Shalat berjamaah mengalahkan
shalatnya salah satu kalian yang sendirian” HR. Al-Bukhari : 610
Sebaliknya jika diantara 100 orang tersebut ada dua
orang yang menyendiri kemudian mereka shalat yang satu jadi imam dan yang satu
makmum maka berdasarkan Hadits diatas dua orang ini berhak mendapat 27 lipatan
pahala.
Sungguh menggelikan ketika golongan yang mengaku
bermanhaj Salaf dan Ahlus Sunnah wal-Jamaah tapi ternyata sangat dangkal
pemahamannya terhadap dalil nash yang sudah qath’I (sangat jelas) tersebut dan
bahkan hanya sekedar dzanni (persangkaan), sehingga tidak mampu memahami konsep
jamaah dalam Islam.
Perhatikan Hadits dibawah ini:
Aku Hudzaifah berkata; Apakah setelah zaman yang baik
itu akan adalagi zaman yang jelek ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda “Ya, orang-orang (para pmimpin agama) yang mengajak pada
pintujahannam, barangsiapa yang mendatanginya maka mereka akan membuang orang
itu ke jahannam”. Aku berkata; Wahai Rasulullah, terangkanlah mengenai mereka
kepada kami. Beliau bersabda “Mereka sama warna kulitnya dengan kita dan
berbicara dengan bahasa kita (Arab)”. Aku berkata maka apakah yang anda
perintahkan jika aku menjumpai keadaan demikian itu ? Nabi bersabda “Tetapilah
jamaahnya orang-orang Islam dengan Imam mereka”, Aku bertanya jika tidak ada
jamaah dan Imam ? Nabi bersabda “Tinggalkanlah semua firqah itu sekalian kamu terpaksa
harus makan akar pohon sampai kematian menjumpaimu kamu tetap dalam keadaan
seperti itu (menjauhi firqah)”. HR. Al-Bukhari : 6557
Keterangan; Kalimat dalam sudut bahasa adalah kalam
khabar bima’na amr (kalimat berita tapi bermakna perintah) sebab kalimat ini
merupakan jawaban dari pertanyaan Hudzaifah bin Yaman r.a
Maka apakah yang anda perintahkan jika aku menjumpai
keadaan demikian itu ?
Sedangkan dalam qaidah ushul fiqh dijelaskan; (kata
perintah itu menunjukkan wajib). Maksud yang terkandung dari Hadits di atas
adalah;
ü Nabi perintah kepada Hudzaifah agar selamat dari
zaman fitnah hendaklah berada dalam jamaah.
ü Bahwa yang dikatakan jamaahnya umat Islam itu
golongan dari umat Islam yang sengaja membentuk jamaah.
ü Yang dikatakan jamaah adalah golongan umat Islam yang
mempunyai Imam.
Diantara mereka adala lagi yang membantah dengan
mengatakan; Tapi Nabi kan menyuruh Hudzaifah beruzlah menyendiri dan bukannya
malah mendirikan jamaah, jawab; memang situasinya mustahil untuk mendirikan
jamaah, perhatikan rentang (urutan) Hadits diatas menggambarkan keadaan zaman
syar (jelek penuh dengan fitnah dengan banyaknya pemimpin / pemuka agama yang
mengajak pada pintu jahannam) jadi dalam keadaan seperti itu mustahil
mendirikan jamaah maka untuk menyelamatkan diri hendaklah ber’uzlah menjauhi
firqah.
Propaganda yang mereka lakukan (mengatakan yang
berjamaah adalah firqah sebaliknya yang tidak membentuk jamaah itulah jamaah
yang sesungguhnya) adalah sama dengan taktik yang pernah digunakan oleh pasukan
“pemberontak” Muawiyah bin Abu Sufyan dalam peristiwa perang Shiffin.
Catatan : Perang Shiffin adalah perang yang terjadi
akibat pembangkangan Muawiyah yang enggan membaiat dan mengakui kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib r.a terjadi di tebing Sungai Furat yang kini terletak di
Syam (Syria) 1 Shafar tahun 37 H bertepatan dengan 26 Juli 657 M
Ketika itu Ammar bin Yasir r.a yang berbeda di fihak
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a terbunuh oleh pasukan Muawiyah, banyak diantara
pasukan Muawiyah yang shock dan lemah semangat mereka untuk meneruskan
peperangan, sebab mereka teringat akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang ditujukan kepada Ammar, di saat sedang bergotong-royong membangun masjid
Nabawi, waktu itu bahu Ammar kotor oleh debu, maka Nabi mengusap bahu Ammar
seraya bersabda; “Kasihan si Ammar dia kelak akan dibunuh oleh golongan durhaka
(pemberontak) sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Said Al-Khudri;
Kemudian dia (Abi Said) mulai bercerita kepada kami
sehingga ketika dia sampai pada peristiwa membangun Masjid (Nabawi) dia
berkata; Kami masing-masing mengangkat satu bata sedangkan Ammar mengangkat dua
bata sekaligus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat yang dilakukan oleh
Ammar maka beliau bersabda “Kasihan si Ammar dia akan dibunuh oleh golongan
durhaka (pemberontak), Ammar akan mengajak mereka ke surge sedangkan mereka
mengajaknya ke neraka, Abu Said berkata (kemudian) Ammar berdo’a;”Aku
berlindung kepada Allah dari fitnah”. HR. Al-Bukhari : 428
Muawiyah adalah orang yang banyak akal dan ambisinya
terhadap kekuasaan sama besarnya dengan ambisi ayahnya (Abu Sufyan) di masa
Jahiliyah, untuk menghilangkan rasa bersalah yang menghantui pasukannya dan
mmbangkitkan kembali semangat tempur mereka, Muawiyah merubah fakta; bahwa
sebenarnya yang membunuh Ammar bukanlah mereka melainkan orang yang membawa
Ammar dalam peperangan (Ali r.a) sebab kalau Ali tidak membawa Ammar dalam
peprangan maka tentulah Ammar tidak akan terbunuh, ternyata taktik licik
Muawiyah ini berhasil, semangat tempur pasukannya pun bangkit kembali dan
dengan tidak merasa berdosa mereka memerangi sang Khalifah (Ali bin Abu
Thalib).
Jadi taktik inilah yang digunakan oleh “Salafi
gadungan” untuk menarik keluar umat Islam yang sudah berjamaah agar keluar dari
jamaahnya, mereka mengatakan; Jamaah sesungguhnya ya seluruh umat Islam
sedangkan kalian yang membentuk jamaah itu berarti “firqah ashabiyah”, wal
iyadzu billah.
Ruginya
Tidak Berjama'ah
A. Tidak Berjamaah Berarti Berada Di Luar Rahmat Allah
Sebaliknya memisahi jamaah juga menimbulkan dampak
negative yang besar, yaitu keluar dari "rahmat Allah" menuju adzab
(siksa)Nya, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam wal-firqatu adzab berarti dari hadits diatas dapat kita fahami bahwa tetapnya
adzab bersama firqah sama halnya tetapnya rahmat bersama jamaah.
Selain dari itu, tidak menetapi jamaah menjadi sebab
mati "su'ul khatimah" (sejelek-jeleknya kematian) apabila tidak
bertaubat dan atau tidak kembali menetapi jamaah.
Dari Abi Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda "Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan
memisahi jamaah kemudian mati maka matinya dalam keadaan jahiliyah" HR.
Muslim : 3437
Keterangan; Hadits diatas menerangkan bahwa mati dalam
keadaan tidak berjamaah atau memisahi jamaah adalah mati jahiliyah berarti
sejelek-jeleknya kematian, wal iyadzu billah
Sebagaimana rahmat senantiasa menyertai orang yang
menetapi jamaah hingga membawahnya ke dalam surga, begitu pula adzab senantiasa
menyertai ahli firqah hingga membawanya ke neraka.
Dari Ibni Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atau
umat Muhammad atas kesesatan dan tangan Allah bersama jamaah dan barangsiapa
yang memisahi (keluar dari jamaah) maka memisahinya itu ke neraka" HR.
At-Tirmidzi : 2093 (Abu Isa berkata: Hadits gharib, Syaikh Albani berkata:
Hadits Shahih selain lafadz "wa man Syadza" : Shahih dan Dhoifnya
Sunan At-Tirmidzi : 5/167)
B. Timbulnya Perselisihan Yang Liar Dan Terbiasanya
Su'ul Adab Dalam Ikhtilaf Seperti; Munuduh Sesat Bahkan Saling Mengkafirkan
Suasana ukhuwah islamiyah tidak akan tercipta dengan
tanpa adanya suatu jamaah sebaliknya yang ada adalah situasi liar saling hujat,
saling klaim merasa dirinya atau manhajnya yang paling benar, contoh nyata
adalah yang terjadi pada golongan "Salafiyyun" keberadaan mereka di
Indonesia dan sekitarnya belum begitu lama sekitar tahun 1980-an dipelopori
oleh Ust. Ja'far Umar Thalib, jumlah mereka pun belum begitu banyak, akan
tetapi suasana di kalangan mereka senantiasa panas; saat ini dengan mudah dapat
kita jumpai di toko-toko buku, kitab-kitab yang isinya tulisan saling hujat
antar Salafi, bahkan Ust. Ja'far Umar sendiri sebagai pentolan mereka tidak
selamat dari hujatan oleh bekas-bekas murid atau pengikutnya tersebut.
Dengan alasan jarh wat ta'dil mereka menghalalkan
ghibah (membeicarakan kekurangan) terhadap ulama yang mereka anggap tidak
"bermanhaj salaf" bahkan orang-orang yang dulunya telah berjamaah
kemudian terpengaruh dengan propaganda "Salafi" nampak sekali
perubahan akhlaqnya, yang asalnya santun menjadi liar, bahkan dengan bangganya
mereka mencaci maki ulama yang telah berjasa memperkenalkan kepada mereka
Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka hina dengan sebutan; si Dajjal Al-Kadzab dan
sebutan-sebutan lain yang buruk, seperti itukah ajaran ulama Salafus shalih ?,
padahal Allah dan Rasul mengajarkan sikap ta'dim kepada ulama siapapun mereka
apalagi yang telah berjasa kepada kita memperkenalkan ayat-ayat Allah dan Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mereka tidak mengindahkan adabul
ikhtilaf atau mungkin belum pernah belajar mengenainya ?
Perhatikan firman Allah
Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah [1]
maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. Qs. Al-Hajj : 32
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Dari Abi Musa al-Asy'ari dia berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya termasuk di dalam
mengagungkan Allah adalah memuliakan orang Islam yang beruban (tua), pembawa
Al-Qur'an (ulama) yang tidak melampaui dan tidak menjauhi Al-Qur'an dan
memuliakan penguasa (imam) yang adil" HR. Abu Dawud : 4203 (Tahqiq
Al-Albani : Hasan Shahih Al-Jami' : 2195)
Nasihat dari Al-Imam Abu Al-Qasim Ibnu Asakir;
Sesungguhnya daging para Ulama itu beracun, dan adat
(kebiasaan) Allah di dalam membuka tirai orang yang melecehkan mereka sudah
diketahui, orang yang lancang lidahnya kepada Ulama Allah akan menimpakan bala'
kepadanya berupa kematian hati sebelum kematian jasad. An-Nawawi : Majmu'
Syarah Al-Muhadzab 1:24
Seharusnya jika benar-benar ingin mengikuti jejak /
manhaj para salafus shalih terlebih dahulu mereka belajar akhlaqul kharimah
sebab salah satu pokok ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
budi pekerti yang agung
Firman Allah ta'ala
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung. Qs. Al-Qalam : 4
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
Dari Abi Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlaq yang baik" HR. Ahmad : 8595 (Syaikh Al-Albani : Shahih)
Berjamaah
adalah amalan Nabi dan Para Sahabat, Tabiin dan Tabiit Tabiin
Jika membentuk jamaah dan mengangkat imam adalah
perkara yang tidak wajib maka tentulah para sahabat rahimuhullah tidak akan
bersusah-payah bermusyawarah mengangkat khalifah hingga mereka menunda
pengurusan sekaligus pemakaman jenazah Rasulullah shallallahi ‘alaihi wa sallam
Dengan kata lain jika ada manusia yang paling berhak
untuk tidak berjamaah dan berbaiat kepada seorang imam tentulah para sahabat,
sebab diantara mereka telah mendapat jaminan masuk surge ada yang karena
keikut-sertaannya dalam perang Badar
(313 orang), ada yang karena turut serta dalam Baiat
Ridwan (sekitar 1500 orang), dan ada yang masuk Al-Asyrah Al-Mubasyirah
bil-Jannah (sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira pasti masuk surga,
mereka adalah; 1. Abu Bakar bin Abi Quhafah (As-Siddiq) 2. Umar bin Khattab
(Al-Faruq) 3. Utsman bin Affan 4. Ali bin Abi Thalib 5. Thalhah bin Ubaidillah
6. Az-Zubair bin Awwam 7. Abdurrahman bin Auf 8. Sa’ad bin Abi Waqqash 9. Said
bin Zaid 10. Abu Ubaidah bin Jarrah
Atau umumnya sahabat yang keutamaan mereka jauh di atas
kita, sehingga infaq kita berupa emas satu gunung uhud pun pahalanya tidak akan
bias menyamai infaqnya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walau
hanya berupa satu mud kurma.
Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Jangan kalian mencaci-maki sahabatku,
seandainya salah satu kalian infaq emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak
bias menyamai infaq mereka yang henya (berupa makanan) satu mud atau
setengahnya” HR. Al-Bukhari : 3397, Muslim : 4610
Demikian pula dengan dua generasi yang terunggul dari
umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
Dari Imran bin Hushain r.a dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda "Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku
(sahabat) kemudian yang mendekati mereka (tabi’in) kemudian yang mendekati
mereka (tabi’it-tabi’in)” HR. Al-Bukhari : 5948
Tapi fakta sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada
satupun diantara tiga generasi umat yang terunggul tersebut yang tidak
mempunyai imam, tidak ada satupun diantara mereka yang tidak berbai’at kepada
imam, bahkan Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya mempunyai “ganjalan” terhadap
Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq akhirnya mengalah dan turut membaiat kepada sang
khalifah
Bagaimana dengan kita yang sama sekali tidak bias
dibandingkan dengan mereka, yang sama sekali belum mendapat jaminan surga, yang
amal ibadah kita setahi-kuku pun tidak bias menyamai ibadah mereka, pantaskah
kita merasa selamat dan aman dengan tidak mempunyai imam, tidak terikat dengan
janji baiat dan tidak berjamaah ?
Bagaimana dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut
manhaj Salafus Shalih (sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in) tapi mengingkari
hal prinsip yang diamalkan oleh para Salafus Shalih bahkan menganggap berjamaah
dan berbaiat dengan imam itu suatu bid’ah yang diada-adakan dan orang-orang
yang melakukannya mereka juluki sebagai ahlul bid’ah wal ahwa’ (pengikut bid’ah
dan hawa nafsu) subahanallah
Bantahan
& Jawaban Seputar Keamiran
Bantahan I; Imam Harus Mempunyai Kekuasaan ?
Sebagian mereka mengatakan imam harus berkuasa seperti
pemerintah, jadi tidak sah kalau imam tidak mempunyai kuasa atau otoritas,
contohnya; melaksankan hukum syariat.
Jawab: Persyaratan Imam yang di bai’at haruslah
mempunyai wilayah kekuasaan sehingga bisa menegakkan hukum syariat Islam,
seperti hukum hudud dan lain-lain, ini adalah persyaratan yang diada-adakan dan
bertentangan dengan kenyataan sejarah;
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
rahasia telah diba’at oleh orang-orang Anshar di Aqabah tepatnya di kawasan
dekat dengan Jumrah Ula peristiwa ini terjadi dua kali, yang pertama pada musim
haji tahun ke-12 dari keNabian, yang kedua pada musim haji tahun ke-13 dari
keNabian, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak
mempunyai wilayah kekuasaan.
Bantahan II; Pemerintah adalah Imam ?
Sebagian mereka mengatakan imam itu adalah pemerintah,
jadi kalau ada yang mendirikan jamaah dan mengangkat imam itu tidak sah dan
halal diperangi.
Jawab: Bagi kaum muslimin yang tinggal di negeri Islam
seperti Saudi Arabia pendapat itu benar 100% tapi bagaimana dengan umat Islam
yang tinggal di negeri sekuler yang pemerintahnya orang-orang non-muslim,
apakah itu bisa dikatakan “yang memiliki perkara dari golongan kalian
orang-orang iman?” padahal di awal ayat (An-Nisa : 59) Allah menegaskan
firmanNya khusus kepada “wahai orang-orang yang beriman”
Dan bagaimana jika yang jadi pemerintah (Presiden atau
Perdana Menteri) adalah perempuan ? sedangkan hal itu sangat diingkari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dan Abu Bakrah berkata; Sungguh Allah telah memberi
manfaat kepadaku dengan kalimat (hadits) sewaktu perang Jamal tidak beruntung
suatu kaum yang menyerahkan perkaranya pada orang perempuan. HR Al Bukhari 6570
Keterangan:
Perang antara Pasukan Khalifah Ali melawan pasukan yang
dipimpin Ummul Mukminin Aishah terjadi pada tahun 11 Jumadil akhir 36 H atau
Desember 657 M, Abu Bakrah merasa beruntung sebab dengan tahu Hadist tersebut
dia tidak menyertai pasukan Aishah
Bantahan III; MUI (Majelis Ulama Indonesia) di
Indonesia kedudukannya adalah sebagai Imam ?
Mereka mencoba membuat alasan lagi, walaupun di negeri
sekuler tapi kan ada institusi/badan Islam MUI (Majelis Ulama Indonesia) di
Indonesia
Jawab: Benar memang ada tapi MUI, tapi bukankah MUI itu
bersifat pimpinan kolektif ?, jadi jelas itu bukan imam yang dibai'at, oleh
karenanya tidak bisa dipaksakan bahwa mereka itu bisa di kategorikan sebagai
imam, sebab kedudukan MUI tidak lain hanyalah sebagai Majelis Syura atau
lembaga Musyawarah bagi para ulama’ (bukan umara’) sehingga statusnya bukan
sebagai ulil amri.
Sungguh aneh ketika mereka mengatakan bahwa imam/amir
bagi mereka adalah pemerintah (Presiden), padahal Presiden itu dipilih dengan
system demokrasi (pemilihan umum) sedangkan mereka sangat anti dengan system
demokrasi, bagi mereka system demokrasi adalah produk haramnya orang-orang
kafir bahkan As-Syaikh Al-Allamah Muhammad Amin As-Syanqithi salah satu ulama’
besar kaum “salafiyin” menyatakan: “Politik gaya demokratisme itu adalah anak
perempuannya anjing." (maksudnya, haram, najis dan hina). Ruju’/taubatnya
Ja’far Umar Thalib : Salafiyunpad. wordpress.com
Nampak jelas aqidah para “pengaku salafi” di bangun di
atas pondasi yang sangat rapuh sehingga mereka bersifat plin-plan dalam
pendirian, sangat mudah berubah-ubah dan tidak sejalan antara ucapan dengan
perbuatan, atau meminjam istilah yang mereka buat mereka layak di juluki
Al-Bungloni (seperti bunglon yang sering berubah-rubah warna kulit: istilah ini
mereka gunakan untuk menghina golongan di luar manhaj mereka)
Keuntungan Menetapi Jama’ah
A. Dijamin Surga
Keuntungan yang paling utama dari menetapi jamaah
adalah jaminan surge yang telah diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda :
Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah
atas 73, yang 72 ke Neraka dan yang satu ke Surga yaitu yang berjamaah. HR Abu
Dawud : 3981 (Syaikh Al-Albani : Hadits Hasan)
Dalam riwayat At-Tirmidzi Rasululllah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang satu adalah yang menetapi agama
sebagaimana yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabat
Dan agama ini (Islam) akan berpecah belah atas 73 agama
semuanya ke Neraka kecuali hanya satu yang ke Surga, para sahabat bertanya
siapakah yang satu itu wahai Rasulullah ?, beliau menjawab yaitu yang menetapi
sebagaimana yang aku dan para sahabat menetapinya. HR At-Tirmidzi : 2565 (Abu
Isa : Hadits gharib)
Keterangan; yang diamalkan oleh Rasulullah dan para
sahabat dalam menetapi Islam adalah dengan berjamaah dimana para sahabat
berbaiat dan menjadikan Nabi bukan hanya sebagai Rasul akan tetapi juga sebagai
Imam.
B. Rahmat Menyertai Jama’ah
Diantara hujjah yang semakinj memperkuat akan wajibnya
berjamaah adalah adanya dalil-dalil yang shahih tentang janji Surga bagi yang
berjamaah dan ancaman adzab Neraka bagi yang tidak berjamaah
Dari An-Nu’man bin Basyir dia berkata Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda;…Dan jamaah itu (mendatangkan) rahmat sedangkan
firqah itu (mendatangkan) adzab. HR Ahmad : 17721 (Syaikh Albani berkata;
Hadits ini shahih : As-Silsilah As-Shahihah : 667)
Dalam hal ini seorang ulama yang bermanhaj salaf yaitu
Syaikh Khafidz bin Muhammad Al-hakami hafidzahullah berkata; Paling besarnya
dampak positif yang diturunkan dalam menetapi Jamaah adalah “rahmat Allah” yang
selalu menyertai jamaah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam : Al jama’atu rahmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sosok pribadi yang telah dianugerahi sabda yang singkat tapi mengandung makna
yang luas, telah ”menjadikan” jamaah sebagai sumber datangnya rahmat.
Hal ini semata-mata untuk menjelaskan betapa eratnya
kebersamaan rahmat dengan jamaah, sesungguhnya rahmat senantiasa menyertai
jamaah dalam setiap keadaan sehingga mengantarkan ke dalam surge yang nikmat
Dari Ibnu Umar dia berkata Umar berkhutbah di Al-Jabiah
dia berkata;...Tetapilah oleh kalian berjamaah dan hindarilah berfirqah maka
sesungguhnya setan bersama satu orang (yang menyendiri tidak berjamaah) dan dia
menjauh dari dua orang (yang berjamaah) barangsiapa yang menghendaki
tengah-tengahnya Surga maka hendaklah dia menetapi Jamaah, barangsiapa yang
gembira karena kebaikan (yang dilakukannya)dan susah karena dosa (yang
dilakukannya) maka itulah orang Iman (yang sesungguhnya). HR At-Tirmidzi : 2091
(Abu Isa berkata : Hadits ini Hasan shahih gharib)
C. Ikhtilaf Bisa Diselesaikan Dengan Adab Yang Mulia
Telah jelas dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam
membentuk jamaah, mempunyai imam yang dibaiat yang akan memimpin mereka
menjalankan ibadah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah di manapun mereka
berkata sehingga diantara umat Islam akan dapat tercipta ukhuwah Islamiyah yang
kongkrit, berlandaskan firman Allah dalam surah An-Nisa’ : 59
D. Keadaan Seberat Apapun Didalam Jamaah Masih Lebih
Baik Daripada Didalam Firqah
Sudah menjadi janji Allah dan Rasul bahwa rahmat
menyertai jamaah, berikut ini. Memang tidak dipungkiri bahwa masih dijumpai
adanya perkara-perkara yang masih perlu diperbaiki di dalam jamaah seperti;
imam yang adil / sewenang-wenangan, yang merasa berat di dalam menetapinya,
akan tetapi keadaan seberat apapun di dalam jamaah itu masih lebih baik
daripada di dalam firqah, karena di dalam jamaah tetap ada harapan rahmat dan Surga
dari Allah, perhatikan nasihat dari sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud r.a
Dari Abdillah Dia berkata : Wahai manusia tetapilah
oleh kalian taat dan jamaah karena sesungguhnya keduanya adalah taliNya Allah
yang Allah telah perintahkan (agar berpegang teguh), dan sesungguhnya apa-apa
yang kalian benci di dalam jamaah dan taat itu lebih baik daripada apa-apa yang
kalian sukai di dalam firqah. Tafsir At-Tabhari : 5988
Kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz bin Marwan lahir di Hulwan, sebuah
desa di Mesir, tahun 61 H saat ayahnya menjadi gubernur di daerah itu. Ibunya,
Ummu ‘Ashim, putri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Jadi, Umar bin Abdul Aziz
adalah cicit Umar bin Khaththab dari garis ibu.
Umar bin Abdul Aziz dibesarkan di lingkungan istana. Keluarganya, seperti keluarga raja-raja Dinasti Umayyah lainnya, memiliki kekayaan berimpah yang berasal dari tunjangan yang diberikan raja kepada keluarga dekatnya. Perkebunan miliknya menghasilkan 50.000 dinar per tahun.
Meski demikian, orangtuanya tak tidak lupa memberi pendidikan agama. Sejak kecil Umar sudah hafal Al-Qur’an. Ayahandanya mengirim Umar ke Madinah untuk berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah. Inilah salah satu titik balik dalam hidup Umar bin Abdul Aziz. Ia kini dikenal sebagai orang saleh dan meninggalkan gaya hidup suka berfoya-foya. Bahkan, Zaid bin Aslam berkata, “Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan duduk.” (Zaid bin Aslam dari Anas).
Madinah bukan hanya membuat Umar bin Abdul Aziz saleh, tapi juga memberi perspektif tentang prinsip-prinsip dasar peradaban Islam di masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Umar memiliki pandangan yang berbeda dengan Bani Umayyah tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun temurun.
Ketika ayahandanya meninggal, Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta Umar bin Abdul Aziz datang ke Damaskus untuk dinikahkan dengan anaknya, Fathimah.
Abdul Malik wafat dan kekhalifahan diwariskan kepada Al-Walid bin Abdul Malik. Di tahun 86 H, Khalifah baru mengangkat Umar bin Abdul Aziz menjadi Gubernur Madinah. Namun, pada tahun 93 H Khalifah Al-Walid memberhentikannya karena kebijakan Umar tidak sejalan dengan kebijakannya.
Al-Walid juga berusaha mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik, dari posisi Putra Mahkota. Ia ingin anaknya yang menjadi Putra Mahkota. Para pembesar dan pejabat negara menyetujui langkah Al-Walid. Tapi, Umar bin Abdul Aziz menolak.”Di leher kami ada bai’at,” kata Umar diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan. Akhirnya, Al-Walid memenjarakannya di ruang sempit dengan jendela tertutup.
Setelah dikurung tiga hari, ia dibebaskan dalam kondisi memprihatikan. Mengetahui kondisi itu, Sulaiman bin Abdul Malik berkata, ”Dia adalah pengganti setelah saya.”
Di tahun 99 H, ketika berusia 37 tahun, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Saat diumumkan sebagai pengganti Sulaiman bin Abdul Malik, Umar berkata, ”Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun.”
Karena itu, di hadapan rakyat sesaat setelah dibaiat ia berkata, ”Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan pembaiatan yang saudara-saudara berikan kepada saya, dan pilihlah sendiri Khalifah yang kalian inginkan selain saya.” Umar ingin mengembalikan cara pemilihan kekhilafahan seperti yang diajarkan Nabi, bukan diwariskan secara turun-temurun. Tapi, rakyat tetap pada keputusannya: membaiat Umar bin Abdul Aziz.
Setelah menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz melakukan gebrakan yang tidak biasa dilakukan arja-raja Dinasti Umayyah sebelumnya.
Para petugas protokoler kekhalifahan terkejut luar biasa. Umar menolak kendaraan dinas. Ia memilih menggunakan binatang tunggangan miliknya sendiri. Al-Hakam bin Umar mengisahkan, ”Saya menyaksikan para pengawal datang dengan kendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, ’Bawa kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik kendaran ini saja (hewan tunggangan).’”
’Atha al-Khurasani berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pelayannya untuk memanaskan air untuknya. Lalu pelayannya memanaskan air di dapur umum. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyuruh pelayannya untuk membayar setiap satu batang kayu bakar dengan satu dirham.”
’Amir bin Muhajir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menyalakan lampu milik umum jika pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan kaum Muslimin. Ketika urusan kaum Muslimin selesai, maka dia akan memadamkannya dan segera menyalakan lampu miliknya sendiri.
Yunus bin Abi Syaib berkata, ”Sebelum menjadi Khalifah tali celananya masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi Khalifah, dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa menghitungnya.”
Abu Ja’far al-Manshur pernah bertanya kepada Abdul Aziz tentang kekayaan Umar bin Abdul Aziz, ”Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?” Abdul Aziz menjawab, ”Empat puluh ribu dinar.” Ja’far bertanya lagi, ”Lalu berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia?” Jawab Abdul Aziz, ”Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang.”
Bahkan suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Ia berkata kepada istri Umar, ”Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fathimah menjawab, ”Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Ketika shalat Jum’at di masjid salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”
Seorang pelayan Umar, Abu Umayyah al-Khashy berkata, ”Saya datang menemui istri Umar dan dia memberiku makan siang dengan kacang adas. Saya katakan kepadanya, ’Apakah setiap hari tuan makan dengan kacang adas?’” Fathimah menjawab, ”Wahai anakku, inilah makanan tuanmu, Amirul Mukminin.” ’Amr bin Muhajir berkata, ”Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya dua dirham.”
Suatu saat Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan Bani Marwan. Ia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah saw. memiliki tanah fadak, dan dari tanah itu dia memberikan nafkah kepada keluarga Bani Hasyim. Dan dari tanah itu pula Rasulullah saw. mengawinkan gadis-gadis di kalangan mereka. Suatu saat Fathimah memintanya untuk mengambil sebagian dari hasil tanah itu, tapi Rasulullah saw. menolaknya. Demikian pula yang dilakukan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Kemudian harta itu diambil oleh Marwan dan kini menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Maka, saya memandang bahwa suatu perkara yang dilarang Rasulullah saw. melarangnya untuk Fathimah adalah bukan menjadi hakku. Saya menyatakan kesaksian di hadapan kalian semua, bahwa saya telah mengembalikan tanah tersebut sebagaimana pada zaman Rasulullah saw.” (riwayat Mughirah).
Wahib al-Wadud mengisahkan, suatu hari beberapa kerabat Umar bin Abdul Aziz dari Bani Marwan datang, tapi Umar tak bisa menemui mereka. Lalu mereka menampaikan pesan lewat Abdul Malik, ”Tolong katakan kepada ayahmu bahwa para Khalifah terdahulu selalu memberikan keistimewaan dan uang kepada kami, karena mereka tahu kedudukan kami. Sementara ayahmu kini telah menghapuskannya.”
Abdul Malik menemui ayahnya. Setelah kembali, Abdul Malik menyampaikan jawaban Umar bin Abdul Aziz kepada mereka, ”Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku.” Umar mengutip ayat 15 surat Al-An’am.
Umar bin Abdul Aziz pun pernah memanggil istrinya, Fathimah binti Abdul Malik, yang memiliki banyak perhiasan pemberian ayahnya, Khalifah Abdul Malik. ”Wahai istriku, pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan-perhiasan ini ke Baitul Maal atau kamu izinkan saya meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku, kamu, dan perhiasan ini berada dalam satu rumah.” Fathimah menjawab, ”Saya memilih kamu daripada perhiasan-perhiasan ini.”
’Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar berkata, ”Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai.”
’Amr bin Muhajir mempertanyakan sikap Umar itu, ”Wahai Amirul Mukminin, orang yang memberi hadiah apel itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan salah seorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat denganmu. Bukankah Rasulullah saw. juga menerima hadiah yang diberikan orang lain kepadanya?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, ”Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang diberikan kepada Rasulullah saw. adalah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap.”
Suatu ketika Abdul Malik, putra Umar, menemui ayahnya, dan berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, jawaban apa yang engkau persiapkan di hadapan Allah swt. di hari Kiamat nanti, seandainya Allah menanyakan kepadamu, ’Mengapa engkau melihat bid’ah, tapi engkau tidak membasminya, dan engkau melihat Sunnah, tapi engkau tidak menghidupkannya di tengah-tengah masyarakat?’”
Umar menjawab, ”Semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepadamu dan semoga Allah memberimu ganjaran atas kebaikanmu. Wahai anakku, sesungguhnya kaummu melakukan perbuatan dalam agama ini sedikit demi sedikit. Jika aku melakukan pembasmian terhadap apa yang mereka lakukan, maka aku tidak merasa aman bahwa tindakanku itu akan menimbulkan bencana dan pertumpahan darah, serta mereka akan menghujatku. Demi Allah, hilangnya dunia bagiku jauh lebih ringan daripada munculnya pertumpahan darah yang disebabkan oleh tindakanku. Ataukah kamu tidak rela jika datang suatu masa, dimana ayahmu mampu membasmi bid’ah dan menghidupkan Sunnah?”
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangat memprioitaskan kesejahtera rakyat dan tegaknya keadilan. Fathimah binti Abdul Malik pernah menemukan suaminya sedang menangis di tempat biaya Umar melaksanakan shalat sunnah. Fathimah berusaha membesarkan hatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Wahai Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing dan tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tapi hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan sadar bahwa Tuhanku kelak akan menanyakan hal ini di hari Kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Tuhanku. Itulah yang membuatku menangis.”
Malik bin Dinar berkata, ”Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, para penggembala domba dan kambing berkata, ”Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-domba kami.”
Begitulah Umar bin Abdul Aziz, meski memerintah tidak sampai dua tahun, rakyatnya hidup sejahtera. Umar bin Usaid berkata, ”Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, ’Salurkan harta ini sesuai kehendakmu.’ Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia hidup berkecukupan.”
Berbagai Sumber.
Umar bin Abdul Aziz dibesarkan di lingkungan istana. Keluarganya, seperti keluarga raja-raja Dinasti Umayyah lainnya, memiliki kekayaan berimpah yang berasal dari tunjangan yang diberikan raja kepada keluarga dekatnya. Perkebunan miliknya menghasilkan 50.000 dinar per tahun.
Meski demikian, orangtuanya tak tidak lupa memberi pendidikan agama. Sejak kecil Umar sudah hafal Al-Qur’an. Ayahandanya mengirim Umar ke Madinah untuk berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah. Inilah salah satu titik balik dalam hidup Umar bin Abdul Aziz. Ia kini dikenal sebagai orang saleh dan meninggalkan gaya hidup suka berfoya-foya. Bahkan, Zaid bin Aslam berkata, “Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan duduk.” (Zaid bin Aslam dari Anas).
Madinah bukan hanya membuat Umar bin Abdul Aziz saleh, tapi juga memberi perspektif tentang prinsip-prinsip dasar peradaban Islam di masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Umar memiliki pandangan yang berbeda dengan Bani Umayyah tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun temurun.
Ketika ayahandanya meninggal, Khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta Umar bin Abdul Aziz datang ke Damaskus untuk dinikahkan dengan anaknya, Fathimah.
Abdul Malik wafat dan kekhalifahan diwariskan kepada Al-Walid bin Abdul Malik. Di tahun 86 H, Khalifah baru mengangkat Umar bin Abdul Aziz menjadi Gubernur Madinah. Namun, pada tahun 93 H Khalifah Al-Walid memberhentikannya karena kebijakan Umar tidak sejalan dengan kebijakannya.
Al-Walid juga berusaha mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik, dari posisi Putra Mahkota. Ia ingin anaknya yang menjadi Putra Mahkota. Para pembesar dan pejabat negara menyetujui langkah Al-Walid. Tapi, Umar bin Abdul Aziz menolak.”Di leher kami ada bai’at,” kata Umar diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan. Akhirnya, Al-Walid memenjarakannya di ruang sempit dengan jendela tertutup.
Setelah dikurung tiga hari, ia dibebaskan dalam kondisi memprihatikan. Mengetahui kondisi itu, Sulaiman bin Abdul Malik berkata, ”Dia adalah pengganti setelah saya.”
Di tahun 99 H, ketika berusia 37 tahun, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Saat diumumkan sebagai pengganti Sulaiman bin Abdul Malik, Umar berkata, ”Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun.”
Karena itu, di hadapan rakyat sesaat setelah dibaiat ia berkata, ”Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan pembaiatan yang saudara-saudara berikan kepada saya, dan pilihlah sendiri Khalifah yang kalian inginkan selain saya.” Umar ingin mengembalikan cara pemilihan kekhilafahan seperti yang diajarkan Nabi, bukan diwariskan secara turun-temurun. Tapi, rakyat tetap pada keputusannya: membaiat Umar bin Abdul Aziz.
Setelah menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz melakukan gebrakan yang tidak biasa dilakukan arja-raja Dinasti Umayyah sebelumnya.
Para petugas protokoler kekhalifahan terkejut luar biasa. Umar menolak kendaraan dinas. Ia memilih menggunakan binatang tunggangan miliknya sendiri. Al-Hakam bin Umar mengisahkan, ”Saya menyaksikan para pengawal datang dengan kendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, ’Bawa kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik kendaran ini saja (hewan tunggangan).’”
’Atha al-Khurasani berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pelayannya untuk memanaskan air untuknya. Lalu pelayannya memanaskan air di dapur umum. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyuruh pelayannya untuk membayar setiap satu batang kayu bakar dengan satu dirham.”
’Amir bin Muhajir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menyalakan lampu milik umum jika pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan kaum Muslimin. Ketika urusan kaum Muslimin selesai, maka dia akan memadamkannya dan segera menyalakan lampu miliknya sendiri.
Yunus bin Abi Syaib berkata, ”Sebelum menjadi Khalifah tali celananya masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi Khalifah, dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa menghitungnya.”
Abu Ja’far al-Manshur pernah bertanya kepada Abdul Aziz tentang kekayaan Umar bin Abdul Aziz, ”Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?” Abdul Aziz menjawab, ”Empat puluh ribu dinar.” Ja’far bertanya lagi, ”Lalu berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia?” Jawab Abdul Aziz, ”Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang.”
Bahkan suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Ia berkata kepada istri Umar, ”Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fathimah menjawab, ”Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Ketika shalat Jum’at di masjid salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”
Seorang pelayan Umar, Abu Umayyah al-Khashy berkata, ”Saya datang menemui istri Umar dan dia memberiku makan siang dengan kacang adas. Saya katakan kepadanya, ’Apakah setiap hari tuan makan dengan kacang adas?’” Fathimah menjawab, ”Wahai anakku, inilah makanan tuanmu, Amirul Mukminin.” ’Amr bin Muhajir berkata, ”Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya dua dirham.”
Suatu saat Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan Bani Marwan. Ia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah saw. memiliki tanah fadak, dan dari tanah itu dia memberikan nafkah kepada keluarga Bani Hasyim. Dan dari tanah itu pula Rasulullah saw. mengawinkan gadis-gadis di kalangan mereka. Suatu saat Fathimah memintanya untuk mengambil sebagian dari hasil tanah itu, tapi Rasulullah saw. menolaknya. Demikian pula yang dilakukan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Kemudian harta itu diambil oleh Marwan dan kini menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Maka, saya memandang bahwa suatu perkara yang dilarang Rasulullah saw. melarangnya untuk Fathimah adalah bukan menjadi hakku. Saya menyatakan kesaksian di hadapan kalian semua, bahwa saya telah mengembalikan tanah tersebut sebagaimana pada zaman Rasulullah saw.” (riwayat Mughirah).
Wahib al-Wadud mengisahkan, suatu hari beberapa kerabat Umar bin Abdul Aziz dari Bani Marwan datang, tapi Umar tak bisa menemui mereka. Lalu mereka menampaikan pesan lewat Abdul Malik, ”Tolong katakan kepada ayahmu bahwa para Khalifah terdahulu selalu memberikan keistimewaan dan uang kepada kami, karena mereka tahu kedudukan kami. Sementara ayahmu kini telah menghapuskannya.”
Abdul Malik menemui ayahnya. Setelah kembali, Abdul Malik menyampaikan jawaban Umar bin Abdul Aziz kepada mereka, ”Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku.” Umar mengutip ayat 15 surat Al-An’am.
Umar bin Abdul Aziz pun pernah memanggil istrinya, Fathimah binti Abdul Malik, yang memiliki banyak perhiasan pemberian ayahnya, Khalifah Abdul Malik. ”Wahai istriku, pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan-perhiasan ini ke Baitul Maal atau kamu izinkan saya meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku, kamu, dan perhiasan ini berada dalam satu rumah.” Fathimah menjawab, ”Saya memilih kamu daripada perhiasan-perhiasan ini.”
’Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar berkata, ”Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai.”
’Amr bin Muhajir mempertanyakan sikap Umar itu, ”Wahai Amirul Mukminin, orang yang memberi hadiah apel itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan salah seorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat denganmu. Bukankah Rasulullah saw. juga menerima hadiah yang diberikan orang lain kepadanya?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, ”Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang diberikan kepada Rasulullah saw. adalah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap.”
Suatu ketika Abdul Malik, putra Umar, menemui ayahnya, dan berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, jawaban apa yang engkau persiapkan di hadapan Allah swt. di hari Kiamat nanti, seandainya Allah menanyakan kepadamu, ’Mengapa engkau melihat bid’ah, tapi engkau tidak membasminya, dan engkau melihat Sunnah, tapi engkau tidak menghidupkannya di tengah-tengah masyarakat?’”
Umar menjawab, ”Semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepadamu dan semoga Allah memberimu ganjaran atas kebaikanmu. Wahai anakku, sesungguhnya kaummu melakukan perbuatan dalam agama ini sedikit demi sedikit. Jika aku melakukan pembasmian terhadap apa yang mereka lakukan, maka aku tidak merasa aman bahwa tindakanku itu akan menimbulkan bencana dan pertumpahan darah, serta mereka akan menghujatku. Demi Allah, hilangnya dunia bagiku jauh lebih ringan daripada munculnya pertumpahan darah yang disebabkan oleh tindakanku. Ataukah kamu tidak rela jika datang suatu masa, dimana ayahmu mampu membasmi bid’ah dan menghidupkan Sunnah?”
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangat memprioitaskan kesejahtera rakyat dan tegaknya keadilan. Fathimah binti Abdul Malik pernah menemukan suaminya sedang menangis di tempat biaya Umar melaksanakan shalat sunnah. Fathimah berusaha membesarkan hatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Wahai Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing dan tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tapi hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan sadar bahwa Tuhanku kelak akan menanyakan hal ini di hari Kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Tuhanku. Itulah yang membuatku menangis.”
Malik bin Dinar berkata, ”Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, para penggembala domba dan kambing berkata, ”Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-domba kami.”
Begitulah Umar bin Abdul Aziz, meski memerintah tidak sampai dua tahun, rakyatnya hidup sejahtera. Umar bin Usaid berkata, ”Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, ’Salurkan harta ini sesuai kehendakmu.’ Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia hidup berkecukupan.”
Berbagai Sumber.